KH Abdul Azis juga menerangkan asal-usul nama Sukamiskin. Ternyata, kata Sukamiskin berasal dari bahasa Arab, yakni suq dan misk. Suq artinya pasar dan misk artinya minyak wangi. “Jadi, jika diartikan Sukamiskin itu pasarnya minyak wangi, sedangkan kampungnya itu Sindanglaya, tapi saat ini lebih terkenal dengan sebutan Sukamiskin. Maka, nama ini semoga dapat memberikan harum dan manfaat bagi semuanya,” kata pria yang kini berusia 67 tahun itu.
Selama berdirinya Ponpes Sukamiskin, yang jika dihitung telah berusia 136 tahun, KH Abdul Azis pun mengakui bahwa Ponpes Sukamiskin menghadapi berbagai hambatan dan tantangan, seperti pada tahun 1942 terjadi pengeboman oleh Belanda yang membuat ponpes ini luluh lantak dan menyisakan puing-puing, serta yang menyebabkan Kiai Dimyati mesti mengungsi ke daerah Ciparay, Kabupaten Bandung.
“Ya mungkin itu semata-mata bukan karena takut, melainkan terlebih dahulu mencari keselamatan dengan tetap memberikan komando dari jauh. Sebab, jika tetap diam di Bandung, sama saja bunuh diri,” ujarnya.
Sepeninggal Kiai Dimyati, kata KH Abdul Azis, kepemimpinan Ponpes Sukamiskin beralih ke Kiai Ahmad Haedar Dimyati, putranya sendiri, yang mencoba membangun kembali puing-puing pondok yang dibom Belanda, hingga saat ini diurus oleh keturunannya.
Adapun peninggalan sejarah keberadaan Ponpes Sukamiskin yang membuktikan eksistensinya itu terlihat dari bangunan ponpes tersebut. Dari bagian dalam pun, terlihat masih menggunakan keramik lama dengan dekorasi bagian dalam, yakni dindingnya tampak kokoh, serta bagian kubah rumah tampak memakai gaya rumah zaman dahulu.
“Luas ponpes ini sekitar satu hektare. Kami juga termasuk Ponpes Salafiyah dan alhamdulillah santri-santriwati berasal dari berbagai daerah, seperti Batam, Lampung, Madura, Palembang, serta luar daerah lainnya,” ujarnya seraya menyebut kini ada 350 orang yang mondok terdiri dari putra dan putri.
Dalam memberikan pelajaran kepada santrinya, kata KH Abdul Azis, Ponpes Sukamiskin selalu menekankan toleransi. Sebab, di dalam kitab dan Alquran telah diperintahkan demikian di samping ibadah amaliyah dan fiqih.
“Setelah itu soal akhlak dan tawadu hingga saat ini. Kami juga berpesan kepada para santri untuk hormat kepada guru sekalipun itu bukan guru kita. Serta pesan tambahan, ialah harus ekonomi,” ujarnya.