Dengan ulah kejaksaan seperti itu, Yang Mulia, berarti kejaksaan telah menghancurkan semangat anti korupsi di kalangan masyarakat. Masyarakat bisa apatis. Bahkan masyarakat akhirnya percaya pada istilah nasib-nasiban. Masyarakat akhirnya bisa percaya bahwa orang yang diperkarakan kejaksaan itu belum tentu karena harus diperkarakan tapi hanya karena nasibnya saja yang apes. Lagi salah mongso. Atau lagi dimangsa. Atau hanya karena tidak mau menyogok. Atau bahkan karena tidak mampu menyogok.
Alangkah tragisnya negeri ini, Yang Mulia, setelah hampir 20 tahun reformasi, setelah lima presiden silih berganti, sampai presiden yang program utamanya adalah revolusi mental, masih juga begini-begini.
16 tahun yang lalu, Yang Mulia, 16 tahun yang lalu.
***
Saat para jaksa ini mungkin masih remaja. Saya diminta untuk membenahi perusahaan daerah Jatim yang lagi sakit.
Kenapa harus saya?
Gubernur Jatim menjawab karena Perusda Jatim dalam keadaan sakit parah. Sakit yang menahun.
Gubernur mengatakan Perusda harus diubah secara drastis. Aset-asetnya hanya banyak yang jadi beban perusahaan. Harus dikonsolidasikan. Perusahaan daerah harus dikelola seperti perusahaan swasta. Baru bisa maju.
Sebelum meminta saya itu, Yang Mulia, Gubernur bersama DPRD Jatim sudah membuat langkah yang sangat radikal. Yaitu mengubah status Perusda menjadi PT (Perseroan Terbatas). Yakni PT PWU.
Mengapa mereka mengubah Perusda menjadi PT?
Mereka menjawab bahwa dengan status PT, Perusda akan bisa keluar dari kesulitan yang sudah dialaminya bertahun-tahun. Dengan status PT Perusda bisa membuat keputusan lebih cepat. Birokrasi tidak perlu berbelit-belit.
Dengan bentuk PT keputusan tertinggi ada di lembaga RUPS. Bukan di DPRD lagi.