POJOKBANDUNG.com, DENPASAR – Perolehan suara pasangan calon kepala daerah petahana yang tidak signifikan, menurut sejumlah pengamat politik sebagai salah satu indikator bahwa kepercayaan masyarakat pada petahana rendah. Bahkan, pasangan calon petahana yang tidak meraih suara signifikan dengan lawan yang tidak imbang disebut sebagai kemenangan memalukan bagi petahana.
Sebab, dengan modal politik dan posisi sebagai incumbent (petahana), seharusnya bisa meraih perolehan suara signifikan dengan calon lawan. Jika dipresentasikan, petahana bisa meraih perolehan suara paling tidak 70 persen dari pengguna hak pilih. Namun kenyataannya, perolehan petahana di empat kabupaten/kota di Bali ada yang di bawah 70 persen, meski pasangan calon yang dilawan dari segi kapasitas maupun kompetensi, tidak imbang.
“Padahal, dari awal takut melawan incumbent,” kata pengamat politik dari Undiknas, Nyoman Subanda, Minggu (13/12) kemarin seperti dilansir Bali Express (Grup JPNN.com).
Subanda merinci pemilihan empat kabupaten/kota yang diikuti petahana. Menurutnya, perolehan suara petahana di Kota Denpasar dengan kompetisi yang sangat ketat antara pasangan calon petahana dengan pasangan calon pendatang baru terutama nomor urut tiga, perolehan suara sebanyak 80 persen lebih dianggap normal dan wajar.
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Bangli. Dari perspektif rivalitas, perolehan suara petahana 60 persen dan pendatang baru 40 persen dianggap wajar. Pasalnya, rivalitas petahana telah terjadi kedua kalinya.
Pada pemilihan sebelumnya, Brahmaputra sudah pernah melawan petahana dan perolehan suaranya tipis. Kabupaten Tabanan lebih mencolok. Meski partisipasi pemilih tertinggi yakni 77 persen, tapi perolehan suara Eka-Jaya hanya 64,39 persen, sementara Jana Merta sebanyak 35,61 persen, dinilai tidak wajar karena petahana seharusnya mendapat peluang lebih besar hingga 70 persen.
Menurutnya, dari segi rivalitas antara petahana dan pendatang baru di Tabanan tidak terlalu keras, bahkan ada orang mengatakan pasangan calon nomor urut dua calon “boneka”. Perolehan suara petahana yang dianggap sangat tidak normal adalah hasil Pilkada Jembrana, di mana perolehan suara petahana 65 persen banding 34 persen. Perolehan suara ini dianggap tidak normal karena petahana melawan pasangan calon yang baru dan sebelumnya tidak diunggulkan. Bahkan, kata Subanda, orang bilang pasangan blolong. Pada saat debat publik juga sangat terlihat sekali perbedaan kualitas dalam penyampaian visi dan misi, serta programnya.
“Dari awal, sepertinya sulit dilawan. Ternyata hasilnya berbeda. Kalau lawannya sudah disiapkan dari awal kemungkinan pasangan calon Putu Artha – Kembang Hartawan kalah,” ujarnya.(bas/mus/fri/jpnn)