POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Menjelang lebaran, para pengusaha yang menjual barang atau makanan di pusat perbelanjaan berlomba-lomba menarik konsumen dengan menawarkan diskon menggiurkan.
Hal itu tidak masalah selama diskon yang diberlakukan tidak mengandung unsur penipuan. Namun, jika terbukti melakukan penipuan, maka pengusaha bisa terancam dipenjara dan denda miliaran rupiah.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Konsumen Indonesia, Firman Turmantara menjelaskan, pemberlakuan diskon tidak dilarang, asal yang dijual bukan barang kedaluarsa, tidak membahayakan kesehatan dan tidak mengandung unsur penipuan.
Unsur penipuan yang dimaksud adalah harga yang sebenarnya sudah dimarkup (dinaikkan) lalu didiskon. Sehingga, dari segi harga, bisa jadi barang tersebut tidak mengalami penurunan, atau bahkan lebih mahal daripada harga sebenarnya saat kondisi penjualan biasa.
Ketentuan yang berkaitan dengan cara penjual selaku pelaku usaha melakukan diskon pada barang dagangannya telah diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Isi pasal tersebut adalah pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang itu telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
Sesuai pasal 10 huruf d UUPK pun menyebut pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
jika memang penjual menawarkan barang dan/atau jasa dengan memiliki potongan harga namun secara tidak benar (diskon itu tidak benar-benar ada/terdapat praktek penipuan), maka pelaku dapat dipidana sesuai dengan ketentuan pasal 62 UUPK.
“Praktek diskon yang menipu seperti itu, pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar,” katanya.