POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Fasilitas pendukung dan penajaman ide kreatif dalam berbisnis harus lebih ditingkatkan lagi. Ini penting demi tumbuh kembangnya inovasi bisnis di Tanah Air.
Menurut mentor program Indigo.id sekaligus pakar manajemen strategik, Dr. Didit Herawan, hasil riset empiris menunjukkan 70-90% ide kreatif tidak dapat berubah menjadi inovasi bisnis karena kelemahan ekosistem pendukung. Kondisi ini memerlukan banyaknya inkubator bisnis dalam usaha menumbuhkan startup.
“Program inkubator bisnis seperti Indigo.id itu seperti layaknya inkubator di rumah sakit yang membantu bayi untuk hidup. Inkubator bisnis membantu startup untuk dapat tumbuh berkembang menjadi bisnis besar karena memberi ekosistem inovasi bagi tumbuh dan berkembangnya startup,” katanya di Jakarta akhir pekan kemarin.
Eks Country Director Motorola Network Indonesia ini mengatakan, pemerintah harus mendorong tumbuh kembangnya program seperti Indigo.id dikarenakan bisa menjadi terobosan dan transformasi bagi bisnis banyak perusahaan mapan. Dia mencontohkan PT Telkom.
Dengan program inkubasi tersebut, maka melangkah lebih cepat dibanding perusahaan-perusahaan lain di Indonesia dalam mendorong kewirausahaan dari segala penjuru, baik dari dalam korporasi maupun luar. Di sisi lain, kata dia, Indigo.id memiliki keunggulan sumber daya berupa jejaring bisnis Telkom di tingkat nasional maupun internasional, sehingga mencakup dalam sebuah ekosistem pendukung pertumbuhan startup.
“Tren dunia sudah mengarah digitalisasi di semua aspek kehidupan. Indonesia harus terus mengikuti India yang telah melaju cepat dalam digitalisasi dan penyebarluasan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi,red). Program inkubator relevan dengan visi pemerintah jadikan Indonesia ekonomi digital terbedar di Asean tahun 2020,” sambung pria yang pernah berkarir di Boeing dan PT DI tersebut.
Alumnus doktoral manajemen UI ini mengatakan, umumnya startup di tanah air sangat memerlukan mentor yang mudah dihubungi, memiliki wawasan luas, memiliki pengalaman panjang dalam bisnis, dan memiliki jejaring yang baik. Dengannya, dapat mengarahkan penyelesaian masalah dengan lebih komprehensif.
Selain itu, usaha rintisan ini juga membutuhkan segera kemampuan mengenal ekosistem global yang lebih kondusif, bukan sekedar ekosistem lokal yang masih dirasa membatasi gerak startup. Budaya inovasi di negara maju sangat berbeda karena sangat memudahkan dibandingkan budaya dan lingkungan inovasi di Indonesia.
Peran teknologi internet membantu mempersempit jurang perbedaan, sehingga pemanfaatannya haruslah menjadi bagian dari strategi pengembangan startup. Startup, sambung dia, memerlukan itu semua karena mereka umumnya punya ide dan kemampuan teknis yang kuat namun lemah dalam kemampuan manajemen implementasi.
“Pengalaman saya 25 tahun sebagai praktisi di bisnis TIK dan bisnis global diharapkan membantu startup binaan yang ada. Ditambah pengalaman akademis saya selaku pengajar bidang kewirausahaan, manajemen stratejik, manajemen inovasi dan kepemimpinan, juga menjadi bagian penting melengkapi ilmu yang dimiliki para startup,” sambungnya.
Terakhir, Didit mengharapkan, bahwa program inkubasi yang mulai ramai belakangan ini akan memunculkan lebih banyak startup dari kalangan muda terdidik di usia yang cukup dini (usia mahasiswa) sekalipun umumnya kurikulum perguruan tinggi masih belum sepenuhnya mendukung mahasiswa berwirausaha dan mandiri pada saat lulus. “Lebih sering dirasakan kurikulum yang ada menjadi beban bagi mahasiswa yang terus mendapat tekanan dari orang tua dan dosen pengajar agar segera lulus dan mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan,” pungkasnya. (azm)