Mantan Teroris Bicara Nasionalis, Simak Isinya

POJOKBANDUNG.com, SOREANG – Mantan Narapidana Terorisme Cibiru, Kurnia Wibowo mengatakan, kaum radikalisme memandang nasionalisme itu tidak ada dalam Islam. Tetapi, dirinya yakin nasionalisme itu tidak bertentangan dengan Islam. Kata Kurnia, harta benda juga harus dijaga, apalagi tanah air, maka pasti harus lebih jaga. Ditambah lagi, menjaga dan merawat tanah air merupakan suatu kewajiban sebagai warga negara.

“Tantangan saat ini adalah banyak orang yang sudah terkikis rasa nasionalismenya. Karena, itu banyak ditumpangi oleh kepentingan – kepentingan politik dan ada juga dari orang yang merusak negara ini serta disambung oleh orang-orang yang intoleran dan radikal. Orang – orang radikal menganggap Indonesia musuh dan dianggap sebagai negara kafir,” kata Kurnia saat wawancara di Mapolsek Bojongsoang, Bojongsoang, Senin (10/10).

Menurut Kurnia, cara menumbuhkan rasa nasionalisme di dalam diri adalah dengan cara menumbuhkan pemahaman tentang sejarah bangsa. Artinya, harus memahami perjuangan yang besar dari para ulama, tokoh-tokoh Islam dan pejuang Islam untuk membuat Negara Indonesia merdeka. Dengan demikian, akan menciptakan rasa syukur. Jadi, dari sejarah dan rasa syukur bisa meningkatkan rasa cinta tanah air.

“Orang jaman dulu pasti akan sangat bersyukur dengan kondisi kita saat ini. Kita juga harus menggali bagaimana budaya kita,” sambung Kurnia.

Menurut Kurnia, fitrahnya manusia adalah cinta tanah air. Hal itu dapat dilihat dari seseorang yang bepergian keluar negeri, pasti akan selalu merindukan hal-hal yang berkaitan dengan negara asalnya, seperti makanan dan yang lainnya. Seperti, pada saat melihat Tim Nasional Sepak Bola Indonesia tengah bertanding, pasti akan ada keinginan untuk mendukung.

“Teman-teman saya yang masih radikal, pasti memiliki rasa-rasa yang seperti itu. Artinya, secara fitrah alamnya, kita mencintai tanah air,” katanya.

Saat ini, Kurnia lebih banyak beraktivitas sebagai narasumber tentang tema yang berkaitan membawa misi perdamaian dan juga berperan sebagai pengamat bidang terorisme. Dirinya juga rutin mengikuti kegiatan di lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang kemanusiaan.

“Saya telah membangun sebuah yayasan untuk menaungi mantan narapidana terorisme, yang diberi nama Yayasan Genggam Perdamaian,” jelas Kurnia.

Kurnia menceritakan, awal mula bergabung kelompok radikalisme, yaitu pada masa dirinya berada di tingkat SMA masuk kelompok radikal, yaitu kelompok yang menganggap negara kafir dan ingin mendirikan negara Islam. Kemudian, berlanjut hingga dirinya terkena kasus yaitu pada tahun 2010, dimana ada kolaborasi dari kelompok radikalisme yang ingin membuat basis militer yang ada di Aceh. Namun, terendus oleh aparat sehingga terjadi penangkapan bahwa tembak-menembak.

“Anggota asal Bandung yang tadinya akan berangkat kesana, otomatis tidak jadi berangkat. Akhirnya, bergerak sendiri – sendiri. Kita menyasar, menembak polisi kemudian juga berniat mengebom markas polisi. Karena, polisi itu kita anggap sebagai penolong daripada sistem kekafiran ini. Bahkan, kita menghalalkan darah aparat baik TNI, Polisi maupun aparat yang menyokong negara,” tuturnya.

Pada tahun 2010, pihaknya juga pernah merencanakan pengeboman di Cibiru tapi gagal dan tertangkap oleh polisi, sehingga divonis penjara selama enam tahun. Dari dalam lapas tersebut, dirinya bisa berubah secara perlahan. Karena, sering melakukan sosialisasi dengan sipir-sipir penjara ditambah rutin membaca buku “istilahnya moderat” bagi kelompoknya. Kurnia mengaku pernah mengalami kekerasan fisik oleh kelompoknya karena berani belajar dari orang yang lebih moderat itu.

“Pada tahun 2013-2014, saya ingin mengurus pembebasan bersyarat untuk bisa meringankan hukuman, tapi pada saat itu keluar fatwa dari kelompok saya, yang mengatakan kalau mengambil kebebasan bersyarat artinya murtad karena menandatangani kesetiaan terhadap NKRI. Dari situ, saya mulai berpikir kok seperti ini, fatwanya sangat keras dan mempersulit disamping juga mudah sekali untuk mengkafirkan perbuatan yang sebenarnya tidak kafir. Sehingga, saya tetap bersikeras untuk mengambil pembebasan bersyarat. Dan akhirnya, saya bisa keluar dari lapas pada tahun 2014,” paparnya.

Setelah bebas, Kurnia mengaku masih bertemu dengan orang yang dianggap moderat oleh kelompoknya. Dirinya juga pernah bertemu dengan para korban bom marriot.

“Para korban, menerima musibah ini tanpa menyimpan permusuhan. Dari situ saya merasa empati kemudian langsung meminta maaf kepada para korban, meskipun saya tidak terlibat dalam kasus bom marriot. Dan banyak korban lainnya, yang membuat saya menjauh dari kelompok radikal maupun pemahaman radikal,” ujarnya.

Terakhir, Kurnia mengucapkan selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75, semoga semakin baik, dan kokoh.

Sementara itu, orang tua narapidana terorisme Wiliam Maksum, Ade Suherman mengatakan, orang tua berperan untuk menjaga dan mendidik anaknya. Walaupun anaknya sudah berumah tangga, tapi orang tua wajib mengawasi, sejauh mana anak bergaul. Karena, manakala anak terjerat dalam kegiatan yang melanggar aturan, maka tetap saja orang tua akan terbawa-bawa.

“Makanya, kewajiban orang tua tidak ada batasnya,” ujar Ade.

Ade melanjutkan, pendidikan pertama anak adalah orang tua, kemudian sekolah yang memiliki beberapa tingkatan. Itu adalah “Urun Rembug” untuk memanusiakan manusia. Selanjutnya, adalah lingkungan baik lingkungan masyarakat, pekerjaan dan organisasi.

“Kepada orang tua, harus selalu memantau bukan hanya anaknya tetapi juga lingkunganya. Jika, ada pemahaman yang menyimpang, maka harus dikoordinasikan dengan pihak yang berwajib,” sambung Ade.

Penanganan radikalisme itu tidak bersifat kuratif yaitu berbentuk penangkapan, tapi secara berdiskusi atau berdialog secara kekeluargaan dan sosial ekonomi.

“Kadang-kadang yang ekonominya lemah, mendapatkan iming-iming, kemudian tergiur. Makanya, kita melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait untuk bagaimana bersama-sama mengawasi agar gerakan-gerakan keagamaan tidak menjurus kepada radikalisme,” pungkas Ade.

Kapolresta Bandung, Kombes Pol Hendra Kurniawan mengatakan, walaupun pihaknya tidak memiliki kewenangan secara langsung untuk penanganan terorisme, tetapi pihaknya tetap berkoordinasi dengan Satgas Densus. Jadi, setiap informasi apapun akan diterima oleh pihaknya, kemudian akan dipelajari untuk selanjutnya dilakukan mapping, pemetaan maupun pendalaman. Pihaknya selalu mengedepankan tindakan preventif yaitu dengan mendatangkan secara langsung orang-orang yang terkena paham radikalisme.

“Tadi ada orang tua dari William Maksum, yang menyatakan anaknya sudah kembali ke NKRI. Pada prinsipnya, mereka menyatakan kalau mereka terpapar itu karena ada doktrin-doktrin dari seniornya. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih berhati-hati memilih pembimbing agamanya,” pungkas Hendra.

(fik)

loading...

Feeds

POJOKBANDUNG.com – Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) mengumumkan kerja samanya dengan Universitas Pasundan (Unpas) melalui penandatangan Nota Kesepahaman (Memorandum …