POJOKBANDUNG.com, JAKARTA – Politikus PDI Perjuangan Harun Masiku belum juga menyerahkan diri. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap, terkait kasus jual beli pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. Namun dengan kasus ini, sebagai partai penguasa, PDIP dinilai telah merusak demokrasi.
“Demokrasi di negara hukum mulai dirusak, ini salah satu akibat penguasaan negara oleh oligarki partai dan pengusaha,” ujar pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar kepada, Minggu (12/1).
Akademisi Universitas Trisakti ini menilai, kini hukum menjadi alat kekuasaan negara. Dia menilai, ada indikasi tebang pilih dalam kasus jual beli PAW yang melibatkan oknum PDI Perjuangan.
“Hukum menjadi alat dan tebang pilih tak terelakan, ada kekebalan yang sengaja diciptakan. Ini proses kemunduran,” sesal Fickar.
Seharusnya kata Fickar, PDI Perjuangan dapat dengan tegas memecatnya. Dia pun meminta agar para pihak tidak menghalang-halangi kinerja KPK.
“Seharusnya (PDI Perjuangan) memecatnya, sesuka hati menyerahkan kadernya dan memenuhi panggilan KPK,” tegas Fickar.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengaku tak tahu keberadaan Harun saat ini. Padahal, Harun disebut-sebut merupakan salah satu staf Hasto.
“Kalau Harun Al Rasyid di dalam cerita kita sering mendengar, tapi saya enggak tahu di mana,” kata Hasto di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).
Di sisi lain, Hasto menilai, ada kepentingan tertentu yang ikut memframing kasus ini. Oleh karena itu, dia memastikan PDIP akan menyikapinya dengan dewasa. Karena bukan kali ini PDIP diterpa isu miring.
“Sebagai contoh, ada pihak yang melakukan framing seolah-olah yang namanya Doni itu staf kesekjenan PDIP. Saya mencari yang namanya Doni staf saya, ini namanya Doni,” kata Hasto sambil menunjuk Doni yang berada di sampingnya.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka yakni Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina selaku mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Harun Masiku selaku caleg DPR RI fraksi PDIP dan Saeful.
KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI, menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani Tio yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap, disangkakan melanggar Pasal 12 Ayat (1) huruf a atau Pasal 12 Ayat (1) huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Harun dan Saeful yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap, disangkakan dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.