POJOKBANDUNG.com – Staf Ahli PT Pertamina (Persero) Rifky Effendi Hardijanto menyatakan saat ini tingkat cadangan BBM di Tanah Air sangat tipis, yaitu hanya 12 hari. Ini bahaya kalau persoalan tingkat cadangan atau stok level bahan bakar minyak alias BBM tidak segera ditangani.
Ia mengatakan kondisi itu bisa menimbulkan dampak politik yang sangat besar.
“Kalau untuk negara ini berbahaya karena berdampak ke political cost yang luar biasa ketika rakyat kekurangan bahan bakar,” ujar dia di Balai Sarwono, Jakarta seperti dikutip dilaman tenpo, Rabu (27/11/2019).
Menurut Rifky, perkara hilir atau cadangan BBM bisa menjadi pertaruhan politik bagi pemerintah. Pemerintahan bisa jatuh apabila terjadi kelangkaan bahan bakar di masyarakat. Mengingat, BBM telah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat.
“Kebayang enggak kalau BBM langka, harga berapa pun itu akan tetap dibeli, biaya menjadi tinggi,” ujar Rifky.
Persoalan itu, menurut dia, harus disikapi oleh jajaran petinggi perusahaan, termasuk Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Sekarang ini stok kita hanya 12 hari, dengan luas wilayah seperti ini, enggak cukup,” ujar dia.
Imbas dari cadangan bahan bakar yang tipis adalah satu per satu daerah di Indonesia mulai mengeluhkan adanya kekurangan BBM.
Rifky mengatakan pada era sebelum krisis moneter tahun 1990-an, Indonesia sempat memiliki tingkat cadangan minyak hingga mencapai 35 hari untuk dijual ke publik. Namun, kala perekonomian runtuh, International Monetary Fund datang dan meminta perseroan mengurangi biaya peralatan hingga maksimum 22 hari, alias dipotong sebanyak 13 hari.
“Ketika itu, banyak program yang diambil, seperti penghematan dan sebagainya, sehingga memotong biaya perawatan dan investasi,” ujar Rifky.
Akibatnya, kata dia, infrastruktur yang ada tidak cukup untuk menopang pertumbuhan permintaan yang cukup tinggi, sehingga stok pun terus menurun.
Idealnya, berdasarkan standar internasional, stok yang mesti dimiliki suatu negara harus mencapai 90 hari. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan jepang sudah memiliki stok melebihi standar tersebut. Begitu pula dengan Thailand dan Vietnam yang menuju ke tingkat tersebut.
Rifky mengibaratkan Indonesia sebagai kendaraan yang hampir kehabisan bensin.
“Ibarat naik mobil, lampu penanda bensin menyala kedip-kedip, pom bensin di mana kita enggak tahu,” ujar dia.
Dengan analogi yang sama, ia mengatakan akan lebih nyaman bila sebuah kendaraan bisa memenuhi tangki bahan bakarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Rifky mengatakan Indonesia mengalami kendala yaitu kurangnya kilang. Sebab, pembangunan kilang belum berlanjut lagi setelah era 90-an.
“Terakhir kita bangun kilang balongan kapasitas 125 ribu barel pada tahun 1990-an awal. Sampai sekarang belum ada lagi. Akibatnya, kita harus impor,” tutur dia.
Perkara yang menanti lainnya adalah produksi minyak mentah Indonesia juga merosot dari kisaran 1,6 juta barel ke 760 ribu barel per hari. Sehingga muncul pertanyaan menyoal bahan baku yang diolah oleh kilang nantinya.