BANDUNG – Ribuan mahasiswa dan kelompok masyarakat melakukan aksi demonstrasi di Gedung Pemerintah Provinisi Jawa Barat dan DPRD. Sebagian besar menolak RUU KPK dan KUHP, kelompok lain mendukung revisi terkait lembaga antirasuah.
Massa aksi yang menolak revisi UU KPK dan KUHP berdatangan secara bergelombang sejak pukul 12.00 WIB. Jumlah mereka lebih dari seribu orang.
Semula, unjukrasa berjalan tertib dan damai dengan orasi penolakan kebijakan dan kritisi Presiden Joko Widodo, termasuk kecewa dengan penanganan kebakaran hutan dan lahan.
“Pemerintah jokowi tidak sanggup lagi mengemban amanatnya,” teriak orator.
Memasuki petang hari, suasana memanas setelah keinginan demonstran memasuki gedung DPRD tidak dipenuhi. Beberapa kali botol minuman air mineral dan batu dilemparkan ke arah polisi.
Pihak kepolisian yang berjaga meminta massa tenang dan tidak terpancing provokasi pihak yang tidak bertanggung jawab. Setelah berhasil diredam sebentar, tak lama kemudian, situasi kembali memanas memanas.
Puncaknya, massa merobohkan dua pagar dan merusak dua pintu besi di gedung DPRD. Polisi memberikan peringatan dengan imbauan namun tak diindahkan massa yang terus mencoba merangsek masuk ke dalam gedung. Akhirnya, aparat kemanan menembak mobil water canon untuk membubarkan massa.
Tak hanya itu tembakan gas air mata, diluncurkan polisi untuk menangani para demonstran. Mereka berlarian ke berbagai arah, tak sedikit berlindung di dalam Gedung Sate.
Ada yang Mendukung Revisi
Sebelum aksi tersebut, unjuk rasa dilakukan oleh ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat (ALAMM) Jawa Barat di depan Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung.
Mereka melakukan aksi dengan menutup mulut. Hal ini disebut sebagai bentuk komitmen memperjuangkan nilai-nilai kebenaran meski sulit disuarakan sekaligus dukungan terkait revisi UU KPK.
Kordinator aksi Iqbal Firmansyah mengatakan perjalanan seleksi pimpinan KPK serta dinamika pro kontra terhadap Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 (UU KPK) dan Revisi UU KPK disahkan pada tanggal 17 September 2019, memunculkan berbagai polemik terhadap Revisi UU KPK masih tetap bermunculan.
Hal tersebut patut diduga adanya politisasi dan kepentingan-kepentingan dalam tubuh KPK itu sendiri. “Dengan aksi diam ini perlu dirasionalkan narasi-narasi yang berlebihan dan ketakutan,” kata Iqbal saat berorasi.
Menurutnya, KPK merupakan salah satu lembaga resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia.Maka kinerjanya harus diatur dengan Undang-Undang. Pengesahan Revisi ke-3 dari UU KPK pada tanggal 17 September 2019 tidaklah harus dibesar-besarkan sebagai upaha untuk melemahkan keberadaan KPK.
“KPK tidak sepatutnya membangun opini seakan-akan KPK telah dilemahkan kanya karena adanya revisi UU KPK. Masih banyak rakyat Indonesia yang tetap dan akan terus mendukung keberadaan KPK agar semakin kuat, professional, efektif dan efisien dari tindakan korupsi,” kata dia. (azs)