POJOKBANDUNG.com – Insiden penabrakan KRI Tjiptadi 381 oleh kapal Vietnam benar-benar membuat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti geram. Apalagi, penabrakan itu terjadi saat KRI berusaha menghentikan pencurian ikan.
Selama ini, Susi memang dikenal sebagai ujung tombak perlawanan terhadap kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Kemarin Susi menyatakan, aksi tersebut membuat tekadnya semakin bulat.
Dia makin semangat membekuk kapal-kapal asing yang menangkap ikan di laut Indonesia. Untuk menunjukkan keseriusannya, Susi menegaskan, Sabtu nanti (4/5) pihaknya menenggelamkan 51 kapal yang tertangkap basah mencuri ikan.
Menariknya, 38 di antara 51 kapal itu berbendera Vietnam. “Selain itu, ada 6 kapal Malaysia, 2 kapal Tiongkok, 1 kapal Filipina, dan 4 kapal milik asing yang berbendera Indonesia,” ucap Plt Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Agus Suherman.
Mengapa ada kapal milik asing yang berbendera Indonesia? Agus menjelaskan, biasanya ada oknum-oknum perusahaan asing yang menggunakan kapal laut lokal untuk menangkap ikan di laut Indonesia. Setelah itu, hasil tangkapan tersebut dibawa ke laut lepas untuk dipindahkan ke kapal asing.
Dia menegaskan, kapal asing yang tertangkap pasti ditenggelamkan. Bukan dilelang. Sebab, melelang kapal-kapal nakal itu malah merugikan Indonesia. Mengapa? Kapal-kapal tersebut akan digunakan kembali untuk kejahatan serupa.
Lebih detail, Susi menjelaskan, kapal yang dilelang biasanya laku Rp 100 juta sampai Rp 500 juta. Padahal, keuntungan perusahaan asing yang mengeruk kekayaan laut Indonesia mencapai Rp 2 miliar sekali melaut. ”Makanya kami menemukan banyak kapal residivis,” ujar menteri berusia 54 tahun itu.
Duit hasil lelang yang masuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan keuntungan perusahaan perikanan asing yang nakal. Tidak sepadan dengan kerugian ekonomi dan risiko keselamatan petugas patroli di lapangan.
“Makanya saya tidak pernah setuju dengan kebijakan lelang kapal ikan asing ilegal. Itu akan mengurangi ketegasan dan tekad kuat Indonesia di mata para pelaku illegal fishing,” tegas Susi.
Dia menuturkan, penenggelaman kapal merupakan sikap tegas pemerintah untuk memberikan efek jera. Juga, meningkatkan intensitas dan menambah kekuatan patroli di laut. Susi menegaskan, tidak ada tawar-menawar dalam penegakan hukum. Menjaga integritas aparat sangatlah penting. ”Tidak bisa kebijakan hari ini begini, tapi besok berbeda. Celah itu akan dimanfaatkan para kriminal ini,” ujarnya.
Setahun akhir, agresivitas intrusi kapal ikan asing di wilayah perairan Natuna meningkat. Pada 2019 sudah empat kali kapal patroli maupun KRI diintimidasi kapal asing. Yaitu, dua kali oleh Malaysia dan dua kali oleh Vietnam.
Sebagaimana diberitakan, Sabtu (27/4) KRI Tjiptadi 381 ditabrak ketika menghentikan kapal Vietnam BD 979 yang tengah menangkap ikan tanpa izin. “Itu wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kita. Apa yang dilakukan TNI-AL sudah benar,” ungkap Susi.
Sebab, konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional alias United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), terutama pasal 57, menyebutkan, ZEE adalah 200 mil laut dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial diukur.
Nah, Vietnam berasumsi bahwa perairan itu berada dalam garis batas kontinen mereka. Dasarnya adalah perjanjian landas kontinen Indonesia-Vietnam 2003. Padahal, belum ada kesepakatan tentang perjanjian itu sampai sekarang.
Pasal 74 ayat 1 Konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan, mengatur penetapan batas ZEE antarnegara pantai harus berdasar persetujuan hukum internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil. Selama persetujuan belum tercapai, ayat 3 menyebutkan, negara yang bersangkutan wajib bekerja sama. Serta, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya persetujuan akhir.
”Ya, berarti seharusnya tidak ada kegiatan perikanan di wilayah tersebut sampai tercapainya kesepakatan dua pemerintahan. Begitu juga, perbatasan ZEE seharusnya tidak disamakan dengan perbatasan landas kontinen,” jelas perempuan yang juga menjabat presiden direktur PT ASI Pudjiastuti Marine Product tersebut.
Karena itu, secara prosedur, tugas TNI-AL menangkap kapal ikan di perairan Natuna sudah benar. Sekaligus menunjukkan bahwa Vietnam tidak menghormati kedaulatan maritim Indonesia. Vietnam juga dinilai tidak kooperatif dan tidak menjunjung tinggi perjanjian yang berlaku.
Kini 14 anak buah kapal BD 979 Vietnam yang berstatus nonyustisia akan dipulangkan. ”Sedangkan nakhoda dan teknisi masih menunggu putusan pengadilan. Sering kali korporasi tidak mau menebus ABK yang ditahan. Harusnya kapal-kapal besar dikejar sampai korporasinya,” tambah Agus.
Dia mengungkapkan, Laut Sulawesi Utara dan Laut Natuna Utara merupakan daerah yang paling sering dilanggar. ”Di Laut Sulawesi Utara, rawan masuk kapal ilegal dari Filipina, sedangkan di Laut Natuna Utara banyak yang dari Vietnam dan Malaysia,” jelasnya.
Penangkapan kapal ikan ilegal dilakukan melalui patroli yang terintegrasi. Baik melalui operasi udara (airborne surveillance) maupun informasi dari masyarakat melalui SMS Gateway. Cara tersebut cukup ampuh untuk memberantas praktik illegal fishing.
”Ada 19 hari operasi. Yang pertama di Pangkalan Operasi Natuna, Banjarmasin, Manado, dan Batam, meliputi wilayah penangkapan perikanan (WPP) 711, 712, 713, dan 716. Hasilnya, ada 9 kapal yang ditangkap, ada penyitaan 12 alat tangkap terlarang, dan ada 9 rumpon yang kami potong di wilayah tersebut,” ungkap Agus.
Sementara itu, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Suradi Wijaya Saputra menuturkan, kekayaan laut dan perikanan Indonesia memang sangat melimpah. Tetapi tidak diikuti pengelolaan yang baik secara menyeluruh.
Pria yang juga menjabat wakil dekan I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip itu menilai efek ekonomi sebagai salah satu faktor maraknya penangkapan ikan ilegal. Tidak jarang pemilik kapal lokal menyewakan kapalnya kepada perusahaan asing untuk menangkap ikan. Mereka diiming-imingi uang sewa yang cukup besar.
“Bagi mereka mungkin uang sewa itu lebih menjanjikan daripada harus melaut. Padahal, uang yang diberikan tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat dari kekayaan laut Indonesia. Mereka tidak memikirkan itu,” urai dosen kelahiran Kebumen 59 tahun lalu tersebut.
Meski begitu, Suradi mengakui, secara perlindungan, pemerintah dalam kurun waktu lima tahun terakhir sangat protektif. Tidak ada kompromi.
Versi Pemerintah Vietnam
Namun, pemerintah Vietnam punya versi lain. Sebagaimana dilansir vnexpress.net, Le Thi Thu Hang, juru bicara menteri luar negeri Vietnam, Selasa lalu menyatakan bahwa insiden penabrakan itu terjadi di wilayah perairan Vietnam. Dia mengungkapkan, KRI-lah yang membuat kapal ikan Vietnam bernomor BD 97916TS tenggelam. ”Kapal Indonesia nomor 381 menangkap dan menarik kapal Vietnam dengan kecepatan tinggi hingga menyebabkan kapal Vietnam tenggelam,” katanya.
Dalam media online papan atas di Vietnam itu, Hang menyatakan, insiden tersebut kemudian diketahui kapal pengawas perikanan Vietnam nomor 213 yang saat itu bertugas. Dua awak kapal yang tenggelam berhasil diselamatkan mereka. Kapal tersebut kemudian meminta KRI meninggalkan perairan Vietnam. ”Tapi, ada 12 nelayan Vietnam yang dibawa ke perairan Indonesia,” katanya.
Pemerintah Vietnam telah mengirim nota diplomatik ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Hanoi. Isinya, meminta verifikasi dan investigasi atas insiden tersebut. Vietnam juga meminta Indonesia tidak membiarkan insiden serupa terjadi di kemudian hari. Mereka juga mendesak Indonesia segera membebaskan awak kapal yang ditahan.
Selain itu, Indonesia diminta memberikan kompensasi yang layak kepada para nelayan itu. Kedubes Vietnam di Indonesia juga diinstruksi untuk meminta informasi serta mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melindungi warga Vietnam.