POPOJOKBANDUNG.com, Indonesia berupaya mengalihkan konsumsi energi yang sebelumnya berbasis pada energi fosil minyak, gas, dan batubara, menjadi struktur bauran energi berbasis energi baru dan terbarukan (EBT). Sesuai dengan Road Map (Peta Jalan) industri otomotif, Indonesia sudah mencanangkan pengembangan produksi kendaraan roda dua berbasis LCEV (low carbon emission vehicle) atau kendaraan rendah emisi.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto menargetkan tahun 2025, populasi mobil listrik diperkirakan tembus 20 persen atau sekitar 400.000 unit dari 2 juta mobil yang diproduksi di dalam negeri.
“Pada tahun 2025, juga dibidik 2 juta unit untuk populasi motor listrik. Langkah strategis sudah disiapkan secara bertahap, sehingga kita bisa menuju produksi mobil atau sepeda motor listrik yang berdaya saing di pasar domestik maupun ekspor,” tuturnya melalui siaran pers yang diterima, Selasa (19/2).
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, pengembangan kendaraan listrik sebagai komitmen pemerintah dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (CO2) 29 persen di tahun 2030 sekaligus menjaga ketahanan energi, khususnya di sektor transportasi darat dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
“Sesuai yang disampaikan Presiden Joko Widodo, kendaraan bermotor listrik dapat mengurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM), serta mengurangi ketergantungan kita pada impor BBM, yang berpotensi menghemat devisa kurang lebih Rp798 triliun,” imbuhnya.
Airlangga menegaskan, pihaknya juga terus mendorong agar manufaktur-manufaktur otomotif di dalam negeri dapat merealisasikan pengembangan kendaraan rendah emisi atau low carbon emission vehicle (LCEV) yang terprogram dalam roadmap industri kendaraan otomotif. Di dalam peta jalan tersebut, terdapat tahapan dan target dalam upaya pengembangan kendaraan berbasis energi listrik di Indonesia.
Pengamat ekonomi makro dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menyatakan salah satu penyumbang gas buang terbesar adalah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil. Kendaraan yang paling banyak menggunakan bahan bakar fosil paling besar adalah sepeda motor.
Oleh karena itu jika ingin mengembangkan kendaraan listrik, lebih feasible jika mengembangkan sepeda motor. Selain teknologinya lebih sederhana, infrastruktur pendukungnya juga lebih mudah dibangun.
Jadi tidak harus menggunakan tenaga listrik tegangan tinggi seperti pada mobil listrik.
Kendaraan lainnya bisa juga yang bentuknya berupa public transport seperti bus, mengingat sekarang ini jumlah kendaraan bus sudah semakin banyak di Indonesia.
“Bagi saya prioritas tertinggi sebenarnya adalah untuk membangun industri sepeda motor listrik,” terabgnya.
Produksi motor listrik diakui tidak serta merta langsung mencapai 10 juta unit, melainkan produksi dilakukan secara bertahap. Semua itu bisa dimulai dengan kebijakan yang mendukungnya, contohnya fasilitas untuk parkir khusus di hotel dan mal (pusat belanja) dengan mengurangi jatah mobil.
Jika dilihat dari segi teknologi, pembuatan sepeda motor listrik lebih sederhana, dibanding teknologi untuk mobil listrik. Sebab jika industri produsen motor dari Jepang tidak mengembangkan industri sepeda motor listrik di Indonesia, maka saat ini menjadi momentum kita mengembangkan industri sepeda motor listrik sendiri.
“Nantinya apabila kita punya produksi motor listrik sendiri, dan menggunakan merek sendiri, akan mengurangi ketergantungan kepada produksi motor Jepang,” papar Advisory Board pada Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA) ini.
Ia menegaskan, teknologi krusial dari transportasi jenis ini adalah pada baterei yang harus dikuasai. Di dunia ini hanya ada satu tempat untuk recycling baterei yaitu Belgia. Jadi teknologinya khusus, sehingga harus disiapkan dari sekarang.
“Karena kalau industri motor listrik berkembang, industri baterei berkembang, industri komponen (spare part), termasuk juga industri pengolah limbah,” jelas Faisal.
Optimalisasi Daya Listrik
Terkait dengan optimalisasi daya listrik untuk kendaraan listrik, di mana kebutuhan listrik di tahun 2020 diperkirakan mencapai 279 MW dan tahun 2023 mencapai 2.279 MW, maka tanpa perlu menambah investasi, pasokan listrik PLN ini sudah cukup memadai.
Data yang diperoleh dari riset PLN, BUMN ini siap mendukung penggunaan mobil listrik dengan menyiapkan pasokan listrik dan infrastruktur pengisian baterei (Electric Vehicle Charger Station – EVCS) baik di rumah, stasiun pengisian, maupun mendorong agar pengisian SPLU ditempatkan di lokasi strategis seperti mal, perkantoran, sampai di pusat bisnis.
“Jika menggunakan mobil listrik, maka dengan kapasitas listrik yang ada, PLN tidak perlu menambah pembangkit, karena proses charging mobil listrik dapat dilakukan di rumah, di saat beban rendah, antara pukul 22.00 sampai 04.00,” kata Executive Vice President Corporate Communication and CSR PT PLN (Persero) I Made Suprateka.
Unsur kemudahan mengisi baterei ini juga disinggung oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Dalam hal penggunaan mobil atau motor listrik, perlu dipertimbangkan bagaimana cara men-charge baterei yang lebih mudah. Sebab nantinya perlu juga mengubah perencanaan bisnis usaha Pertamina, yang selama ini menjual BBM, agar sekaligus di setiap SPBU (Stasiun Bahan Bakar Umum) disediakan alat untuk pengisisan baterei dan segala kelengkapannya.
“Jadi nantinya Pertamina melakukan penjualan BBM dan juga alat untuk pengisian listrik umum,” tuturnya.