Dari Seminar Seks Berbuntut Suaka

Donald Trump

Donald Trump

Oleh: Dahlan Iskan

Para peserta seminar itu kini diadili. Di kota ‘’Sex of the City’’: Pattaya. Kota wisata di Thailand yang berpantai pasir itu.

Materi seminarnya sensitif: seni bersenggama. Ada trainingnya: bagaimana memikat wanita. Salah satu materinya: kiat mendapatkan nomor kontak seorang wanita.

Semua itu dianggap penting di Pattaya. Lebih penting dari tagar Ganti_Presiden atau tagar Dua_Periode. Apalagi pihak keamanan menemukan materi provokasi. Agar peserta segera berbuat. Tidak hanya diskusi. Atau debat.

Ada foto-fotonya. Ada buktinya: perbuatan itu ada. Training itu ternyata tidak hanya teori. Tapi ada perbuatan sungguhannya. Di ruang seminar.

Itulah sebabnya mereka ditangkap. Diadili. Sidang-sidangnya kini masih berlangsung.

Peristiwanya sendiri terjadi Februari lalu. Jalannya sidang molor. Terjadi komplikasi tingkat tinggi.

Salah seorang terdakwa tiba-tiba minta suaka politik ke kedutaan besar Amerika yang ada di Bangkok. Minta dikirim ke Amerika untuk menjaga keselamatannya.

Nama wanita itu: Nastya Rybka. Itu nama komersialnya. Nama aslinya: Anastasia Vashukevich. Asal Belarus. Yang dulu satu negara dengan Russia.

Nastya mengaku terancam jiwanya. Gara-gara mengungkap rahasia kelas dunia: dia punya rekaman pembicaraan rahasia. Tentang terjadinya intervensi Russia. Dalam pemilihan presiden Amerika. Yang Trump jadi presidennya. Tahun 2016.

Pembicaraan itu, kata siapa itu tadi, terjadi antara dua orang pelanggannya: Oleg dan Paul. Oleg orang Russia. Paul orang Amerika. Keduanya bukan sembarang orang.

Nama belakang Oleg adalah: Vladimirovich. Nah, jelas penting kan?

Anda pasti kenal nama itu. Ia pengusaha besar di Moskow. Konglomerat. Bisnis utamanya alumunium. Dan investasi keuangan. Umurnya: 50 tahun. Orang dekat Kremlin, istana presiden. Teman Vladimir Putin. Presiden Russia. Nastya rupanya punya pelanggan tingkat tinggi.

Sedangkan nama belakang Paul adalah Manafort.

Wow! Si dia. Kenal, kan? Ia manajer kampanye Trump. Yang punya bisnis di kawasan Russia. Sebagai konsultan politik. Yang berhasil memenangkan presiden Ukraina.

Belum jelas? Itu. Yang minggu lalu bikin heboh Amerika. Dinyatakan bersalah membuat kejahatan bank. Pajak. Cuci uang. Yang terkait dengan bisnisnya di Rusia. Kini Manafort tinggal tunggu putusan hakim: berapa tahun hukumannya.

Manafort kecewa berat pada Trump: kok tidak dibela. Harapan Manafort: presiden menggunakan hak prerogatifnya. Mengampuni kesalahannya.

Ketika intervensi itu mulai terungkap justru Manafort diberhentikan. Di tengah masa kampanye. Terutama saat mulai diusut asal usul uangnya.

Jaksa Amerika tidak berhenti di asap. Terus menguber apinya: Trump.

Surat panggilan sudah dikirim. Tinggal Trump memutuskan: mendatanginya atau tidak. Masing-masing dengan konsekwensinya. Mendatanginya bisa terjebak. Tidak mendatanginya bisa kehilangan hak.

Minggu lalu penguberan ini sampai tahap yang kritikal. Langsung mengingatkan pada tahapan-tahapan kejatuhan Presiden Nixon dalam skandal Watergate.

Apalagi pengacara Trump mencelakakannya: Michael Cohen mengajukan plea guilty. Mengaku bersalah. Membayar uang tutup mulut dari dana kampanye. Atas sepengetahuan dan arahan Trump.

Uang tutup mulut itu bikin mules sampai di bawah mulut. Akibat yang ditutup mulutnya wanita. Dua pula. Yang mengaku pernah seranjang dengan ia –yang tak perlu disebut namanya.

Harian New York Times, CNN, CNBC dan Washington Post tidak lelah. Terus melakukan penelusuran. Di tengah gempuran balasan dari Gedung Putih. Ancaman dari pusat kekuasaan. Yang selalu menilai media besar itu produsen fake news. Dan musuh rakyat Amerika.

Trump tidak gentar. Tidak akan jadi Nixon kedua.

”Tim Gedung Putih sekarang bukan tikus-tikus. Tidak seperti di zaman Nixon.”

Begitu kurang lebih pandangan Trump. Maksudnya: Trump tidak akan senasib dengan Nixon. Washington Post tidak akan dapat bocoran apa pun dari kantornya. Yang bisa mematikan dirinya.

Trump menyindir Washington Post. Bukan hebat karena wartawannya. Tapi beruntung karena bocornya rahasia kantor Nixonnya.

TV di Amerika memang terbelah. Sejak lama. CNN dan CNBC sangat anti Trump. Begitu juga Washington Post dan New York Times. Foxnews mati-matian bela Trump. Tidak sekedar terasa. Tapi nyata.

Foxnews lantas banyak disukai. Terutama oleh lelaki tua: penyiarnya cantik-cantik. Muda-muda. Potongan rambutnya modis-modis. Make upnya sempurna. Roknya pendek-pendek. Posisi duduknya menggiurkan. Sedap sekali di mata.

Penasehat hukum Trump kelihatan mulai berbeda. Ada yang mengatakan pro: baiknya Trump memenuhi panggilan itu. Agar bisa menjelaskan kebenaran versinya. Agar kasus ini segera tutup buku.

Penasehat hukum Trump yang baru memilih anti: jangan hadiri. Ia adalah Rudy Giulani. Mantan walikota New York. Yang terkenal itu. Giulani khawatir Trump masuk perangkap. Terjebak. Salah menjawab.

Belum tahu bagaimana Trump akhirnya harus bersikap. Kedutaan besarnya di Bangkok yang sudah bersikap: menolak permintaan suaka foto model Belarus itu. Alasannya: tidak ada bukti.

Nastya tidak menyerahkan rekaman pembicaraan itu. Antara Oleg dan Paul itu.

Sedang Kirilov, ketua panitia seminar berkilah: barang bukti itu bukan saat training. Foto itu terjadi setelah itu. Tidak ada praktek sanggama di ruang seminar.

Lalu foto-foto di mana itu? Kirilov berteori. Katanya: ”Ketika selesai seminar mereka pada pergi ke bar. Mempraktekkan hasil trainingnya,” ujar Kirilov.

Biarlah pengadilan yang menilai. Tapi sungguh mati, soal rekaman itu. Sebenarnya ada nggak sih rekaman itu? ”Tanya saja ke Oleg,” ujar Nastya. Enteng dan hambar.

Nastya kini sudah beda. Sudah berjanji. Untuk tidak mau lagi bicara soal rekaman itu. Semua sudah diserahkan ke Oleg.

Masih punya copynya? Nastya hanya tersenyum. Sebuah senyum teka-teki. Mendatar dan menurun. Penuh arti.

Ini seperti acara di Net TV. Hanya Cak Lontong yang mengetahui.

(dahlan iskan)

 

 

loading...

Feeds