POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Gempa yang melanda Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tepatnya Pulau Lombok telah merusakan 464 rumah dan 17 korban jiwa hal itu berdasarkan pengamatan sementara Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi.
Kepala Sub Bidang Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Timur PVMBG, M Arifin Joko Pradipto menjelaskan, kerusakan bangunan kebanyakan berada di Lombok Timur dan Lombok Utara. Kerusakan bangunan pada umumnya termasuk kategori rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan.
Arifin mengatakan, faktor utama penyebab kerusakan bangunan itu tak lain adalah karena kondisi bangunan yang tidak mengikuti kaidah bangunan tahan gempa bumi. Mengingat Gempa bumi tidak pernah membunuh. Yang membunuh adalah bangunan yang runtuh.
“Sifat bangunan sangatlah memengaruhi. Bagaimana mereka akan membangun sesuai kaidah gempa. Sangat mempengaruhi,” ujarnya di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (31/7/2018).
Menurut Arifin, Kaidah bangunan tahan gempa bumi, sudah ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. PVMBG hanya memberikan rekomendasi secara geologis peta tanah mana saja dan beban bangunan harus seberapa beratnya.
Lanjut Arifin, PU memiliki standar khusus, seperti Fondasi rumah harus di perhitungkan secara matang, perhitungan berat pun harus di hitung. Beberapa kejadian gempa bumi itu korban lebih banyak karena konstruksi rumah. Namun terkait hal tersebut dikembalikan kepada pemimpin daerah masing-masing.
“PVMBG tidak bisa meminta suatu daerah bangunan harus seperti ini dan disini harus begini, kami sebatas merekomendasikan semua kembali ke wilayahan masing-masing,”sambungnya.
Arifin menambahkan, faktor lain yang mengakibatkan kerusakan bangunan pada saat gempa bumi seperti di Lombok, tak lain diakibatkan bangunan pada batuan rombakan gunung api muda yang sudah mengalami pelapukan dengan bersifat urai, lepas, belum kompak.
Dengan hal itu, kata dia, PVMBG selalu memperbaharui dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah setempat daerah mana saja yang berpotensi mengalami bencana geologis melalui peta kawasan rawan bencana (KRB).
“Melalui KRB kami selalu berikan himbauan dan Ini sifatnya rekomendasi teknis. KRB juga disusun berdasarkan simulasi yang sudah memberikan kemungkinan terjadinya gempa atau bencana geologis lain,” jelasnya.
Disinggung mengenai penggunaan KRB, menurut Arifin, sampai saat ini, belum banyak pemerintah daerah yang menggunakan KRB sebagai acuan dan pada akhirnya PVMBG pun memberikan rekomendasi agar Pemerintah Provinsi NTB segera melakukan revisi RTRW dengan mengacu data potensi bencana geologi, peta KRB gempa bumi, peta KRB gunung api, dan peta zona kerentanan gerakan tanah.
“Semua kembali kepada pemerintah daerah, inilah data yang kita sampaikan, karena kita tidak memaksa,” pungkasnya.
(azs/pojokbandung)